Sunday, March 10, 2019

Macam-macam Tauhid

بسم الله الر حمن الر حيم


Tauhid pertama kali dirumuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang kemudian diperjelas oleh beberapa ulama secara terperinci. Menurut tarjih Muhammadiyah tauhid terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: 1) Tauhid Rububiyah, 2) Tauhid Mulkiyah, 3) Tauhid Uluhiyah, dan 5) Tauhid Asma’ wa Sifat. Sedangkan menurut manhaj shalafus Shalehfdc, tauhid hanya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1) Rububiyah, 2) Uluhiyah, 3) Asma’ wa Sifat. Kedua pendapat mengenai unsur-unsur tauhid tersebut sebenarnya memiliki makna yang sama, hanya saja Muhammadiyah menambahkan tauhid Mulkiyah yang dipecah dari tauhid Rububiyah agar lebih terperinci. Berikut ini akan dipaparkan macam-macam tauhid, yaitu:
1.      Tauhid Rububiyah
Tauhid ini berasal dari kata Rabb yang mengandung arti yang majemuk. Menurut Abdul A’la al-Maududi dapat berarti mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, memperbaiki, meghimpun, mengepalai, dan memiliki. (Ismail, 2014) Sedangkan menurut Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya dengan meyakini bahwa Dialah yang menciptakan seluruh makhluk. (Fauzan, 2016) Sebagaimana dengan firman Allah:
 اَللهُ خَالِقُ كُلِ شَيْءٍ...
“Allah menciptakan segala sesuatu.” (Az-Zumar: 62)
 Dari berbagai makna tauhid rububiyah di atas menunjukkan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Rabb. Karena yang memiliki berbagai sifat yang terkandung pada makna dari kata Rabb hanyalah Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:
يَآَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآءَ بِنَآءً وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآ فَاَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَتِ رِزْقًالَّكُمْ فَلَا تَجْعَلُوْلِلَّهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan yang sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Maka secara istilah tauhid rububiyah adalah yakin dengan kesadaran bahwa Allah adalah satu-satunya zat yang menciptakan segala apa yang ada dialam semesta ini dan sekaligus mengaturnya agar terdapat keseimbangan bagi setiap makhluk ciptaan-Nya.
2.      Tauhid Mulkiyah
Tauhid Mulkiyah berasal dari kata Malik yaitu raja, dan kata Maalik berarti memiliki. Sebagaimana lafaz dari kedua kata tersebut yang terkandung dalam surat Al-Fatihah ayat 4 dan juga An-Naas ayat 2. Kedua kata tersebut juga memiliki relevansi yang sangat kuat karena langsung berakar pada akar kata yang sama, yaitu ma-la-ka. Dalam hal ini, sang Pemilik merupakan Raja atas segala apa yang dimilikinya. Contoh kecilnya seseorang yang memiliki mobil, yang mana dia berhak untuk mengendarainya, meminjamkan, menyewakan, dan juga menghadiahkan ke orang lain. Dalam artian seperti ini bahwa Allah SWT merupakan Raja yang memiliki langit dan seluruh alam semesta (al-‘alamin). Sebagaimana firman Allah:
اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللهَ لَهُ مُلْكُ سَّمَوَةِ وَالْأَ رْضِ وما لَكُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ مِنْ وَّلِيٍ وَّلَا نَصِيْرٍ
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langin dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Al-Baqarah: 107)
Dari beberapa buku yang telah kami kutip, tauhid Mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauhid Rububiyah. Dengan adanya keyakinan dalam diri bahwa segala sesuatu di alam semseta ini adalah ciptaan Allah atas kemauan dan kekuasaan-Nya sendiri.
3.      Tauhid Uluhiyah
Merupakan keyakinan bahwa Allah SWT adalah zat yang patut  dipuja dan disembah. Maka sudah sepatut-Nya segala makhluk ciptaan-Nya takut, tunduk, dan memohon pertolongan atas segala hal hanya kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah, yaitu:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Menurut Yunahar Ilyas (dalam buku kuliah aqidah) bahwa, tauhid uluhiyah ialah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Al-Ma’bud (yang disembah). (Ilyas, 2016) Sedangkan menurut Syaikh Shalil bin Fauzan al-Fauzan bahwa, tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan pada niat taqarrub yang disyariatkan seperti halnya doa, nazar, qurban, tawakal, senang, dan tobat. (Fauzan, 2016)
Dari kedua pendapat di atas, pada dasarnya tauhid uluhiyah merupakan perbuatan yang meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya zat yang harus disembah tanpa menyekutukan-Nya dengan hal yang lain. Tempat meminta segala sesuatu, tempat meminta pertolongan, dan juga tempat memohon ampunan atas segala dosa hanyalah kepada Allah SWT. Maka, setiap orang yang beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah akan diberi ampunan. Allah SWT berfirman:
وَلَوْاَنَّهُمْ اَمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَمَثُوْبَةٌ مِّنْ عِنْدِ اللهِ خَيْرٌ لَوْكَا نُوْا يَعْلَمُوْنَ
“Dan jika mereka beriman dan bertakwa, pahala dari Allah pasti lebih baik, sekiranya mereka tahu.” (QS. Al-Baqarah: 103)
Setiap para Rasul yang diutus oleh Allah akan selalu menyerukan untuk beribadah hanya kepada Allah. Seperti halnya dalam kisah Nabi Ibrahim yang menyeru kepada kaumnya agar menyembah Allah karena tiada Ilah selain Allah. Allah SWT berfirman:
وَاِبْرَهِيْمَ اِذْقَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوْهُ ذَلِكُمْ خَيْرٌلَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ  
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya, Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-Ankabut: 16)
4.      Tauhid Asma’ wa Sifat
Tahid asma’ wa sifat merupakan penetapan dan pengakuan atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang baik dengan berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut ulama tarjih terdapat dua metode dalam mengimani tauhid ini, yaitu:
a.       Metode itsbat (menetapkan)
Metode ini berarti mengimani asma’ wa sifat Allah yang menyatakan kesempurnaan-Nya. Misalnya Maha Mengetahui, Maha Suci, Maha Melihat, Maha Memberi Rizki, Maha Bijaksana, dan lain-lain.
b.      Metode nafyu (mengingkari)
Metode ini adalah kebalikan dari metode itsbat. Yaitu mengingkari atau mennolak nama-nama dan sifat-sifat Allah yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah. Seperti menafikan bahwa Allah mempunyai orang tua dan anak, menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah, dan lain hal sebagainya.
Sedangkan tauhid asma’ wa sifat menurut salafus saleh adalah mengimani dan menetapkannya sebagimana ia datang tanpa tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan),  takyif (menanyakan bagaimana), dan tamtsil (menyerupakan), dan hal itu termasuk beriman kepada Allah. (Fauzan, 2016)
Dalam pemahaman mengenai tauhid asma’ wa sifat ini, tarjih Muhammadiyah menggunakan metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari). Agar tidak terjadinya penyimpangan di lingkungan masyarakat atas kuasa Allah SWT. Nama-nama dan sifat Allah yang telah tercantumkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah sudah sepatutnya untuk diyakini akan kebenarannya. Dan tidak sepatutnya seorang manusia mengada-ngadakan nama dan juga sifat lain yang menunjukkan ketidak sempurnaan-Nya. Karena hal tersebut dapat menggiring seseorang pada kesesatan dan kufuran terhadap Allah, hingga akhirnya mengingkari ajaran agama Allah. Oleh karena itu dibuat juga metode nafyu (mengingkari).
Tidak jauh beda dengan pendapat dari ulama salafus saleh yang berarti mengimani dan menetapkan nama-nama Allah yang baik dan juga sifat-Nya berdasarkan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tanpa harus mengubah (tahrif), menafikan (ta’thil), menanyakan bagaimana (takyif), dan juga menyerupakan (tamsil). Dengan begitu, tidak akan lagi ada keraguan terhadap Allah atas penetapan nama-nama dan juga sifat-sifat-Nya yang baik.





Referensi

Fauzan, S. b. (2016). Kitab Tauhid. Jakarta Timur: Aqwam Jabatan Ilmu.
Ilyas, Y. (2016). Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI.
Ismail, G. (2014). Menjadi Muslim Paripurna. Yogyakarta: Unires Press.



No comments:

Post a Comment

Hamra'ul Asad

Kisah Perang Hamra’ul Asad Bismillah... Perang ini terjadi setelah kekalahan pasukan muslimin pada peperangan di Uhud. Setelah perang...