بسم الله الر حمن الر حيم
Tauhid pertama kali dirumuskan oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang kemudian diperjelas oleh beberapa ulama
secara terperinci. Menurut tarjih Muhammadiyah tauhid terbagi menjadi 4 bagian,
yaitu: 1) Tauhid Rububiyah, 2) Tauhid Mulkiyah, 3) Tauhid Uluhiyah, dan 5)
Tauhid Asma’ wa Sifat. Sedangkan menurut manhaj shalafus Shalehfdc, tauhid
hanya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1) Rububiyah, 2) Uluhiyah, 3) Asma’ wa
Sifat. Kedua pendapat mengenai unsur-unsur tauhid tersebut sebenarnya memiliki
makna yang sama, hanya saja Muhammadiyah menambahkan tauhid Mulkiyah yang
dipecah dari tauhid Rububiyah agar lebih terperinci. Berikut ini akan
dipaparkan macam-macam tauhid, yaitu:
1.
Tauhid
Rububiyah
Tauhid ini
berasal dari kata Rabb yang mengandung arti yang majemuk. Menurut Abdul
A’la al-Maududi dapat berarti mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh,
menjaga, mengawasi, memperbaiki, meghimpun, mengepalai, dan memiliki. (Ismail, 2014) Sedangkan menurut
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam segala
perbuatan-Nya dengan meyakini bahwa Dialah yang menciptakan seluruh makhluk. (Fauzan, 2016) Sebagaimana dengan
firman Allah:
اَللهُ خَالِقُ كُلِ شَيْءٍ...
“Allah
menciptakan segala sesuatu.” (Az-Zumar: 62)
Dari berbagai makna tauhid rububiyah di atas
menunjukkan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Rabb. Karena yang memiliki
berbagai sifat yang terkandung pada makna dari kata Rabb hanyalah Allah
SWT. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:
يَآَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ
وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآءَ بِنَآءً
وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآ فَاَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَتِ رِزْقًالَّكُمْ
فَلَا تَجْعَلُوْلِلَّهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
“Wahai manusia!
Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa.”
“(Dialah) yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah
yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu
buah-buahan yang sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan
tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Maka secara
istilah tauhid rububiyah adalah yakin dengan kesadaran bahwa Allah adalah
satu-satunya zat yang menciptakan segala apa yang ada dialam semesta ini dan
sekaligus mengaturnya agar terdapat keseimbangan bagi setiap makhluk
ciptaan-Nya.
2.
Tauhid
Mulkiyah
Tauhid Mulkiyah
berasal dari kata Malik yaitu raja, dan kata Maalik berarti
memiliki. Sebagaimana lafaz dari kedua kata tersebut yang terkandung dalam
surat Al-Fatihah ayat 4 dan juga An-Naas ayat 2. Kedua kata tersebut juga
memiliki relevansi yang sangat kuat karena langsung berakar pada akar kata yang
sama, yaitu ma-la-ka. Dalam hal ini, sang Pemilik merupakan Raja atas
segala apa yang dimilikinya. Contoh kecilnya seseorang yang memiliki mobil,
yang mana dia berhak untuk mengendarainya, meminjamkan, menyewakan, dan juga
menghadiahkan ke orang lain. Dalam artian seperti ini bahwa Allah SWT merupakan
Raja yang memiliki langit dan seluruh alam semesta (al-‘alamin).
Sebagaimana firman Allah:
اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللهَ لَهُ مُلْكُ
سَّمَوَةِ وَالْأَ رْضِ وما لَكُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ مِنْ وَّلِيٍ وَّلَا
نَصِيْرٍ
“Tiadakah kamu mengetahui
bahwa kerajaan langin dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain
Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Al-Baqarah: 107)
Dari beberapa
buku yang telah kami kutip, tauhid Mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauhid
Rububiyah. Dengan adanya keyakinan dalam diri bahwa segala sesuatu di alam
semseta ini adalah ciptaan Allah atas kemauan dan kekuasaan-Nya sendiri.
3.
Tauhid
Uluhiyah
Merupakan
keyakinan bahwa Allah SWT adalah zat yang patut
dipuja dan disembah. Maka sudah sepatut-Nya segala makhluk ciptaan-Nya
takut, tunduk, dan memohon pertolongan atas segala hal hanya kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah, yaitu:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada Engkaulah
kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Menurut Yunahar
Ilyas (dalam buku kuliah aqidah) bahwa, tauhid uluhiyah ialah mengimani Allah SWT
sebagai satu-satunya Al-Ma’bud (yang disembah). (Ilyas, 2016)
Sedangkan menurut Syaikh Shalil bin Fauzan al-Fauzan bahwa, tauhid Uluhiyah
adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan pada niat
taqarrub yang disyariatkan seperti halnya doa, nazar, qurban, tawakal, senang,
dan tobat. (Fauzan, 2016)
Dari kedua
pendapat di atas, pada dasarnya tauhid uluhiyah merupakan perbuatan yang
meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya zat yang harus disembah tanpa
menyekutukan-Nya dengan hal yang lain. Tempat meminta segala sesuatu, tempat
meminta pertolongan, dan juga tempat memohon ampunan atas segala dosa hanyalah
kepada Allah SWT. Maka, setiap orang yang beriman dan bertaqwa hanya kepada
Allah akan diberi ampunan. Allah SWT berfirman:
وَلَوْاَنَّهُمْ اَمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَمَثُوْبَةٌ
مِّنْ عِنْدِ اللهِ خَيْرٌ لَوْكَا نُوْا يَعْلَمُوْنَ
“Dan jika mereka beriman
dan bertakwa, pahala dari Allah pasti lebih baik, sekiranya mereka tahu.” (QS. Al-Baqarah: 103)
Setiap para
Rasul yang diutus oleh Allah akan selalu menyerukan untuk beribadah hanya
kepada Allah. Seperti halnya dalam kisah Nabi Ibrahim yang menyeru kepada
kaumnya agar menyembah Allah karena tiada Ilah selain Allah. Allah SWT
berfirman:
وَاِبْرَهِيْمَ اِذْقَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا
اللهَ وَاتَّقُوْهُ ذَلِكُمْ خَيْرٌلَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan (ingatlah) Ibrahim,
ketika dia berkata kepada kaumnya, Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-Ankabut: 16)
4.
Tauhid
Asma’ wa Sifat
Tahid asma’ wa
sifat merupakan penetapan dan pengakuan atas nama-nama dan sifat-sifat Allah
yang baik dengan berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut ulama tarjih
terdapat dua metode dalam mengimani tauhid ini, yaitu:
a.
Metode
itsbat (menetapkan)
Metode ini
berarti mengimani asma’ wa sifat Allah yang menyatakan kesempurnaan-Nya.
Misalnya Maha Mengetahui, Maha Suci, Maha Melihat, Maha Memberi Rizki, Maha
Bijaksana, dan lain-lain.
b.
Metode
nafyu (mengingkari)
Metode ini
adalah kebalikan dari metode itsbat. Yaitu mengingkari atau mennolak nama-nama
dan sifat-sifat Allah yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah. Seperti
menafikan bahwa Allah mempunyai orang tua dan anak, menafikan adanya makhluk
yang menyerupai Allah, dan lain hal sebagainya.
Sedangkan tauhid asma’ wa sifat menurut salafus saleh adalah mengimani
dan menetapkannya sebagimana ia datang tanpa tahrif (mengubah), ta’thil
(menafikan), takyif (menanyakan
bagaimana), dan tamtsil (menyerupakan), dan hal itu termasuk beriman kepada
Allah. (Fauzan, 2016)
Dalam pemahaman
mengenai tauhid asma’ wa sifat ini, tarjih Muhammadiyah menggunakan metode
itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari). Agar tidak terjadinya penyimpangan
di lingkungan masyarakat atas kuasa Allah SWT. Nama-nama dan sifat Allah yang
telah tercantumkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah sudah sepatutnya untuk diyakini
akan kebenarannya. Dan tidak sepatutnya seorang manusia mengada-ngadakan nama
dan juga sifat lain yang menunjukkan ketidak sempurnaan-Nya. Karena hal
tersebut dapat menggiring seseorang pada kesesatan dan kufuran terhadap Allah,
hingga akhirnya mengingkari ajaran agama Allah. Oleh karena itu dibuat juga
metode nafyu (mengingkari).
Tidak jauh beda
dengan pendapat dari ulama salafus saleh yang berarti mengimani dan menetapkan
nama-nama Allah yang baik dan juga sifat-Nya berdasarkan pada Al-Qur’an dan
as-Sunnah. Tanpa harus mengubah (tahrif), menafikan (ta’thil), menanyakan
bagaimana (takyif), dan juga menyerupakan (tamsil). Dengan
begitu, tidak akan lagi ada keraguan terhadap Allah atas penetapan nama-nama dan
juga sifat-sifat-Nya yang baik.
Referensi
Fauzan, S. b.
(2016). Kitab Tauhid. Jakarta Timur: Aqwam Jabatan Ilmu.
Ilyas, Y. (2016).
Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI.
Ismail, G.
(2014). Menjadi Muslim Paripurna. Yogyakarta: Unires Press.
No comments:
Post a Comment