Sunday, March 10, 2019

Hamra'ul Asad

Kisah Perang Hamra’ul Asad
Bismillah...

Perang ini terjadi setelah kekalahan pasukan muslimin pada peperangan di Uhud. Setelah perang Uhud, para pasukan muslim yang berjumlah 630 orang kembali ke Madinah dengan keadaan terluka parah termasuk Nabi SAW. Melihat kondisi seperti itu Nabi khawatir bila orang-orang Quraisy berpikir bahwa mereka belum mendapatkan kemenangan yang mutlak dan juga mereka tidak mendapatkan keuntungan secara material. Akan tetapi ada kemungkinan jika para pasukan musuh akan kembali ke Madinah dengan mendatangkan serangan baru. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Nabi SAW bertekad untuk mengusir para pasukan Quraisy.
            Pada keesokan harinya setelah perang Uhud, tepatnya pada hari ahad 8 Syawal 3 H, Beliau menganjurkan kepada seluruh pasukan muslim khususnya yang kemarin ikut serta dalam perang Uhud untuk kembali mengejar musuh. Nabi SAW bersabda, “Yang boleh bergabung bersama kami hanyalah orang-orang yang sebelumnya bergabung dalam Perang Uhud.”
Abdullah bin Ubay (pemimpin orang-orang munafik) bertanya, “Bagaimana jika saya ikut bersama Anda?” Rasulullah menjawab, “Tidak.”
            Setelah mendengar seruan Nabi untuk mengejar kembali para musuh, maka para sahabat yang masih dalam kondisi terluka parah segere berkumpul dan bersiap untuk mengejar Quraisy. Kemudian Nabi dan para pasukan Muslimin keluar dari Madinah hingga tiba di Hamra’ul Asad. Hamra’ul Asad merupakan sebuah nama lokasi. Asad berarti singa, dan Hamra’ berarti daerah merah (karena kebanyakan gurun di sana warna merah). Setelah tiba di sana, perkiraan Nabi terhadap serangan baru yang akan dilakukan oleh orang-orang Quraisy ternyata benar adanya. Dan sebagian besar kaum Quraisy beranggapan bahwa pasukan Muslim saat itu dalam kondisi lemah. Dan para pemuka-pemuka Muslim banyak yang belum benar-benar terbunuh. Sehingga mereka berkata, “Kalian sudah menguasai pemuka dan orang yang kuat di antara mereka, kemudian kamu meninggalkan mereka. Sementara, masih ada sekian banyak kepala yang bersatu lagi untuk menghadapi kalian. Kembalilah untuk mencabut hingga ke akar-akar mereka.” (Risalah, 515)
            Akan tetapi, salah satu pemimpin dari mereka menolak pendapat mereka, yaitu Shafwan bin Umayyah dia berkata, “Wahai kaumku, jangan lakukan itu! Karena aku khawatir semua orang yang kemarin tidak ikut keluar dalam Perang Uhud akan bergabung menghadapi kalian. Pulanglah kalian dan biarkan kemenangan ini menjadi giliran kalian. Jika kalian kembali lagi, aku tidak menjamin kemenangan ini menjadi milik kalian lagi.” Namun sebagian besar dari mereka menolak perkataan Shafwan, dan bersepakat untuk kembali lagi ke Madinah. Seandainya jika mereka kembali ke Mekah, maka mereka akan datang dengan membawa berita gembira yaitu kemenangan atas peperangan dengan kaum Muslim. Tetapi, karena mereka sangat berambisi untuk menghabiskan kaum Muslim maka hasil peperangan tersebut menjadi berbalik.
            Ketika pasukan Quraisy mendengar kabar bahwa Rasulullah kembali mengejar mereka dengan seluruh pasukan yang kemarin ikut serta dalam Perang Uhud, membuat tekad dari kaum Quraisy menjadi melempem. Mereka menjadi tidak bersemangat dan rasa takut menyelimuti mereka. Tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk kembali ke Mekah. Dalam perjalanan menuju Mekah, Abu Sufyan bertemu dengan rombongan Abdul Qais yang akan pergi ke Madinah. Abu Sufyan berencana untuk menakut-nakuti pasukan Muslim yang sedang mengejar mereka dengan menitipkan pesan kepada Abdul Qais agar disampaikan kepada pasukan Muslim. Hingga akhirnya Abdul Qais bertemu Rasulullah dan menyampaikan kepada pasukan Muslim, “Sesungguhnya mereka telah berhimpun untuk menghadapi kalian. Karena itu, waspadalah!”
            Akan tetapi, pesan yang disampaikan itu justru menambah kemantapan iman dari pasukan Muslimin. Sebagaimana firman Allah:
وقالوا حسبناالله ونعم الوكيل.  فانقلبوا بنعمة من الله وفضل لم يمسسهم سوء واتبعوا رضون الله والله ذو فضل عظيم.
Mereka berkata, “cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung.” Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Ali-‘Imran: 173-174)
Rasulullah dan para sahabat berada di Hamra’ul Asad selama tiga hari pada 9-11 Syawal 3 H. Dan kemudian kembali ke Madinah.

 

Referensi

Al-Mubarakfuri, S. (2018). Sirah Nabawiyah. Jakarta Timur: Aqwam Jabatan Ilmu.



Penyerangan Pasukan Gajah ke Ka'bah

بسم الله الر حمن الر حيم

PERISTIWA PENYERANGAN KA’BAH
Pada Tahun Gajah 569 M


Segala penghormatan dan berbagai penghargaan yang didapat oleh kota Mekah dan baitullah, membuat beberapa kota di kawasan Arab berlomba-lomba untuk membangun rumah suci untuk menarik perhatian dari Mekah. Orang-orang Ghasan juga membuat beberapa bangunan di Al-Hirah, begitu juga dengan Abrahah Al-Ashram yang membuat bangunan di Yaman.
            Abrahah merupakan raja muda di Yaman berkebangsaan Habasyah yang membangun katedral yang cukup indah di sana. Tujuan bangunan itu dibangun agar dapat membuat daya tarik dari Mekah terhadap para peziarah Arab. Rencana Abrahah tersebut akhirnya diketahui oleh seorang lelaki yang berasal dari Kinana, yang masih mempunyai hubungan saudara dengan suku Quraisy. Dan pada akhirnya lelaki tersebut secara diam-diam masuk ke dalam bangunan tersebut dan melumuri dinding bangunan itu dengan kotoran. Abrahah yang mengetahui hal tersebut marah besar sehingga ia mengerahkan pasukannya sebanyak 6000 pasukan untuk menyerang Ka’bah. Mereka membawa beberapa pasukan gajah untuk menyerang musuhnya agar diinjak-injak hingga rata dengan tanah.
            Mendengar berita akan adanya penyerangan terhadap Ka’bah, orang-orang Quraisy dan beberapa suku di sekitaran Ka’bah melakukan rapat. Keputusan dari rapat tersebut adalah bagi mereka hal yang mustahil untuk menahan pasukan Abrahah. Kemudian Abdul Mutthalib menyarankan kepada seluruh penduduk Mekah agar segere berlindung ke gunung-gunung, dengan menjelaskan kepada mereka bahwa Ka’bah mempunyai Tuhan yang akan melindunginya.
            Ketika Abrahah dan pasukannya telah sampai di bukit Muhassar, yang terletak diantara Muzdalifa dan Mina, gajah-gajah mereka enggan untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah. Hingga mereka terus memaksakan gajah-gajahnya dengan cara memukul gajah tersebut dengan besi, tetapi gajah-gajah tersebut tetap saja terdiam. Dan tidak lama kemudian, atas kuasa Allah SWT terdengar suara gemuruh dan langit mulai gelap. Semakin lama volume suara itu semakin besar, hingga akhirnya terlihat gelombang gelap yang dahsyat di langit. Gelombang tersebut adalah segerombolan burung-burung yang diutus oleh Allah untuk mematahkan rencana jahat Abrahah yang ingin menyerang Mekah dan menghancurkan baitullah. Burung-burung itu adalah burung ababil yang membawa batu dari Sijjil di kaki mereka dan kemudian menjatuhkan batu-batu tersebut ke Abrahah dan para pasukannya. Batu-batu yang dijatuhkan mampu menembus dan membusukkan daging mereka hingga ketulang-tulang. Hingga pasukan Abrahah banyak yang tewas dan kocar-kacir. Melihat situasi tersebut, orang-orang Quraisy dan penduduk sekitar yang tadinya sedang bersembunyi di gunung akhirnya dapat pulang kembali ke rumah mereka dengan selamat.


            Kejadian ini berlangsung pada bulan Muharram, sekitar akhir Februari atau awal Maret 570 M, lima puluh atau lima puluh lima tahun sebelum kelahiran Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Macam-macam Tauhid

بسم الله الر حمن الر حيم


Tauhid pertama kali dirumuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang kemudian diperjelas oleh beberapa ulama secara terperinci. Menurut tarjih Muhammadiyah tauhid terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: 1) Tauhid Rububiyah, 2) Tauhid Mulkiyah, 3) Tauhid Uluhiyah, dan 5) Tauhid Asma’ wa Sifat. Sedangkan menurut manhaj shalafus Shalehfdc, tauhid hanya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1) Rububiyah, 2) Uluhiyah, 3) Asma’ wa Sifat. Kedua pendapat mengenai unsur-unsur tauhid tersebut sebenarnya memiliki makna yang sama, hanya saja Muhammadiyah menambahkan tauhid Mulkiyah yang dipecah dari tauhid Rububiyah agar lebih terperinci. Berikut ini akan dipaparkan macam-macam tauhid, yaitu:
1.      Tauhid Rububiyah
Tauhid ini berasal dari kata Rabb yang mengandung arti yang majemuk. Menurut Abdul A’la al-Maududi dapat berarti mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, memperbaiki, meghimpun, mengepalai, dan memiliki. (Ismail, 2014) Sedangkan menurut Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya dengan meyakini bahwa Dialah yang menciptakan seluruh makhluk. (Fauzan, 2016) Sebagaimana dengan firman Allah:
 اَللهُ خَالِقُ كُلِ شَيْءٍ...
“Allah menciptakan segala sesuatu.” (Az-Zumar: 62)
 Dari berbagai makna tauhid rububiyah di atas menunjukkan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Rabb. Karena yang memiliki berbagai sifat yang terkandung pada makna dari kata Rabb hanyalah Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:
يَآَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآءَ بِنَآءً وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآ فَاَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَتِ رِزْقًالَّكُمْ فَلَا تَجْعَلُوْلِلَّهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan yang sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Maka secara istilah tauhid rububiyah adalah yakin dengan kesadaran bahwa Allah adalah satu-satunya zat yang menciptakan segala apa yang ada dialam semesta ini dan sekaligus mengaturnya agar terdapat keseimbangan bagi setiap makhluk ciptaan-Nya.
2.      Tauhid Mulkiyah
Tauhid Mulkiyah berasal dari kata Malik yaitu raja, dan kata Maalik berarti memiliki. Sebagaimana lafaz dari kedua kata tersebut yang terkandung dalam surat Al-Fatihah ayat 4 dan juga An-Naas ayat 2. Kedua kata tersebut juga memiliki relevansi yang sangat kuat karena langsung berakar pada akar kata yang sama, yaitu ma-la-ka. Dalam hal ini, sang Pemilik merupakan Raja atas segala apa yang dimilikinya. Contoh kecilnya seseorang yang memiliki mobil, yang mana dia berhak untuk mengendarainya, meminjamkan, menyewakan, dan juga menghadiahkan ke orang lain. Dalam artian seperti ini bahwa Allah SWT merupakan Raja yang memiliki langit dan seluruh alam semesta (al-‘alamin). Sebagaimana firman Allah:
اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللهَ لَهُ مُلْكُ سَّمَوَةِ وَالْأَ رْضِ وما لَكُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ مِنْ وَّلِيٍ وَّلَا نَصِيْرٍ
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langin dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Al-Baqarah: 107)
Dari beberapa buku yang telah kami kutip, tauhid Mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauhid Rububiyah. Dengan adanya keyakinan dalam diri bahwa segala sesuatu di alam semseta ini adalah ciptaan Allah atas kemauan dan kekuasaan-Nya sendiri.
3.      Tauhid Uluhiyah
Merupakan keyakinan bahwa Allah SWT adalah zat yang patut  dipuja dan disembah. Maka sudah sepatut-Nya segala makhluk ciptaan-Nya takut, tunduk, dan memohon pertolongan atas segala hal hanya kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah, yaitu:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Menurut Yunahar Ilyas (dalam buku kuliah aqidah) bahwa, tauhid uluhiyah ialah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Al-Ma’bud (yang disembah). (Ilyas, 2016) Sedangkan menurut Syaikh Shalil bin Fauzan al-Fauzan bahwa, tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan pada niat taqarrub yang disyariatkan seperti halnya doa, nazar, qurban, tawakal, senang, dan tobat. (Fauzan, 2016)
Dari kedua pendapat di atas, pada dasarnya tauhid uluhiyah merupakan perbuatan yang meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya zat yang harus disembah tanpa menyekutukan-Nya dengan hal yang lain. Tempat meminta segala sesuatu, tempat meminta pertolongan, dan juga tempat memohon ampunan atas segala dosa hanyalah kepada Allah SWT. Maka, setiap orang yang beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah akan diberi ampunan. Allah SWT berfirman:
وَلَوْاَنَّهُمْ اَمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَمَثُوْبَةٌ مِّنْ عِنْدِ اللهِ خَيْرٌ لَوْكَا نُوْا يَعْلَمُوْنَ
“Dan jika mereka beriman dan bertakwa, pahala dari Allah pasti lebih baik, sekiranya mereka tahu.” (QS. Al-Baqarah: 103)
Setiap para Rasul yang diutus oleh Allah akan selalu menyerukan untuk beribadah hanya kepada Allah. Seperti halnya dalam kisah Nabi Ibrahim yang menyeru kepada kaumnya agar menyembah Allah karena tiada Ilah selain Allah. Allah SWT berfirman:
وَاِبْرَهِيْمَ اِذْقَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوْهُ ذَلِكُمْ خَيْرٌلَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ  
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya, Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-Ankabut: 16)
4.      Tauhid Asma’ wa Sifat
Tahid asma’ wa sifat merupakan penetapan dan pengakuan atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang baik dengan berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut ulama tarjih terdapat dua metode dalam mengimani tauhid ini, yaitu:
a.       Metode itsbat (menetapkan)
Metode ini berarti mengimani asma’ wa sifat Allah yang menyatakan kesempurnaan-Nya. Misalnya Maha Mengetahui, Maha Suci, Maha Melihat, Maha Memberi Rizki, Maha Bijaksana, dan lain-lain.
b.      Metode nafyu (mengingkari)
Metode ini adalah kebalikan dari metode itsbat. Yaitu mengingkari atau mennolak nama-nama dan sifat-sifat Allah yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah. Seperti menafikan bahwa Allah mempunyai orang tua dan anak, menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah, dan lain hal sebagainya.
Sedangkan tauhid asma’ wa sifat menurut salafus saleh adalah mengimani dan menetapkannya sebagimana ia datang tanpa tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan),  takyif (menanyakan bagaimana), dan tamtsil (menyerupakan), dan hal itu termasuk beriman kepada Allah. (Fauzan, 2016)
Dalam pemahaman mengenai tauhid asma’ wa sifat ini, tarjih Muhammadiyah menggunakan metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari). Agar tidak terjadinya penyimpangan di lingkungan masyarakat atas kuasa Allah SWT. Nama-nama dan sifat Allah yang telah tercantumkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah sudah sepatutnya untuk diyakini akan kebenarannya. Dan tidak sepatutnya seorang manusia mengada-ngadakan nama dan juga sifat lain yang menunjukkan ketidak sempurnaan-Nya. Karena hal tersebut dapat menggiring seseorang pada kesesatan dan kufuran terhadap Allah, hingga akhirnya mengingkari ajaran agama Allah. Oleh karena itu dibuat juga metode nafyu (mengingkari).
Tidak jauh beda dengan pendapat dari ulama salafus saleh yang berarti mengimani dan menetapkan nama-nama Allah yang baik dan juga sifat-Nya berdasarkan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tanpa harus mengubah (tahrif), menafikan (ta’thil), menanyakan bagaimana (takyif), dan juga menyerupakan (tamsil). Dengan begitu, tidak akan lagi ada keraguan terhadap Allah atas penetapan nama-nama dan juga sifat-sifat-Nya yang baik.





Referensi

Fauzan, S. b. (2016). Kitab Tauhid. Jakarta Timur: Aqwam Jabatan Ilmu.
Ilyas, Y. (2016). Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI.
Ismail, G. (2014). Menjadi Muslim Paripurna. Yogyakarta: Unires Press.



Hamra'ul Asad

Kisah Perang Hamra’ul Asad Bismillah... Perang ini terjadi setelah kekalahan pasukan muslimin pada peperangan di Uhud. Setelah perang...